Nanggroe Aceh - Aceh atau Sumatera sejak ribuan tahun
lalu tercatat dalam jalur perdagangan internasional melalui selat Malaka. Komoditas yang dicari pedagang
asing di Aceh atau Sumatera, antara lain, kapur barus, lada, kemenyan, emas, dan rempah seperti
cengkeh, kayu manis, dan pala. Aceh berada dalam mata rantai perdagangan itu dan dunia mengakui bahwa sumber lada dunia ada di Aceh. Arun K Dasgupta (1962)
mengatakan, sejak kejatuhan Malaka ke tangan Portugis, pedagang Muslim melirik
Pasai (berada di Aceh Utara) dan Pedir (pesisir Aceh Pidie) sebagai tempat berniaga. Kota pelabuhan itu pun menjelma menjadi bandar
niaga yang sibuk pada abad ke-16. Abad ke-17, muncul Kesultanan Aceh yang
mengalami masa jaya di bawah kekuasaan Sultan Iskandar Muda, yaitu Kerajaan Aceh Darussalam yang menyatukan semua kerajaan di Aceh, termasuk Pasai dan Pedir. Bahkan kekuasaan kerajaan ini sampai hingga ke Pahang, Malaysia.
Kerajaan yang menguasai
wilayah Aceh dan daerah di pesisir barat Sumatera bagian utara itu
disebut-sebut kaya-raya karena lada. Pada masa itu, kebun (seuneubok) lada
banyak dibuka. Namun, berapa persis produksi lada yang dihasilkan tidak diketahui jumlah pastinya. Namun, bekas-bekas kebun lada masih kita jumpai hingga sekarang dan bahkan masih ada peninggalan kejayaan lada ini yang masih dipelihara dengan baik sebagai tanda bahwa sumber lada dunia ada di Aceh. Melihat dari serpihan catatan yang dibuat oleh pedagang atau
utusan asing. Tome Pires (1512-1515), misalnya, mencatat, pelabuhan Pidie dan
Pasai saja ketika itu memperdagangkan lada sebanyak 16.000 bahar atau sekitar
2.718 ton per tahun.
Van Leur memperkirakan
jumlah total lada yang diproduksi per tahun di pesisir barat Sumatera sekitar
2.400.000 lbs atau 1.088,62 ton. Ditambah lada yang dikuasai Raja Aceh sebanyak
408,2 ton, total produksi lada Kerajaan Aceh sekitar 1.524 ton. Namun, catatan
lain dibuat sebelum tahun 1620 yang menyebutkan volume lada yang dikuasai
Kerajaan Aceh hanya sekitar 1.190 ton (Dasgupta, 1962).
Terlepas dari perbedaan data
di atas, catatan tersebut menunjukkan produksi lada saat itu jauh melampaui
produksi lada Aceh saat ini. Buku Statistik Perkebunan Aceh tahun 2011
mencatat, produksi lada Aceh sebesar 217 ton pada 2009, 205 ton tahun 2010, dan
216 ton di tahun 2011. Luas areal tanaman lada juga terus menyusut dari 1.022
hektar (2009) menjadi 921 hektar (2010) dan 896 hektar (2011). Dari angka itu
pun ternyata hanya 424 hektar kebun lada yang menghasilkan. Sisanya, 332
hektar, belum menghasilkan dan 141 hektar rusak. Sebagian besar kebun lada saat
ini tersisa di Aceh Besar dan Pidie. Untuk melihatnya silahkan klik DISINI
Ada suatu pernyataan tertulis yang disampaikan oleh Portugis mengenai ekspansi rempah-rempahnya ke kawasan Asia terutama mencari sumber lada dunia. Inilah pernyataannya yang terkenal itu:
"it had the whole of the trade at that time…gathered together such great merchants with so much trade along its sea coasts, that nowhere else so large so rich was known. Some of them were Chinese, some arabs, Parsees, Gujaratees, Belgalees and many other nationalities".
Arti bebasnya seperti ini: "itu adalah seluruh perdagangan pada waktu itu ... Ada begitu banyak pedagang-pedagang besar berkumpul sepanjang pantai laut, ada beberapa negara kaya yang sangat terkenal yaitu China, beberapa negara Arab, Pasai (Aceh Sumatera), Gujarat (India), Benggala (India) dan juga beberapa negara lain".
+ comments + 1 comments
Mntf gure
Post a Comment