Nanggroe Aceh – Sejarah telah
mencatat sistem hukum Syariat Islam mulai berlaku di Aceh pada tahun 2001 dan berdasarkan UU
Otonomi Khusus nomor 18 tahun 2001 dan juga berdasarkan UU Keistimewaan Aceh
nomor 40 tahun 1999 yang meliputi agama, adat istiadat dan pendidikan. Selain
itu Aceh juga diberika kekuasaan kehakiman sehingga Mahkamah Syar`iyah bisa
dibentuk melalui UU Kekuasaan Kehakiman Nomor 4/2004. Namun walaupun demikian
pemerintah Aceh hanya bisa menghasilkan empat peraturan perda dar sejak Syariat
Islam ditegakkan hingga sekarang yang terkodifikasi dalam empat Qanun. yaitu:
- Qanun Nomor 11 tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Ibadah, Akidah dan Syiar Islam,
- Qanun Nomor 12 tahun 2003 tentang Minuman Khamar (minuman keras) dan sejenisnya,
- Qanun Nomor 13 tahun 2003 tentang Maisir (perjudian) dan,
- Qanun Nomor 14 tahun 2003 tentang Khalwat (mesum)
Qanun inilah yang menjadi
landasan bagi aparat polisi Syariat Islam untuk menegakkan Hukum Syariat Islam
dan mengawasi, menindak, memeriksa dan melimpahkan semua perkara pelanggaran
Syariat Islam ke Mahkamah Syar`iyah. Sanksi hukuman campuk akan dilaksanakan
apabila pelanggar masuk dalam katagori pelanggaran berat dalam artian melanggar
keempat qanun itu dan disertai bukti dan saksi. Namun tidak jarang juga kasus
pelanggaran Qanun nomor 11 tahun 2002 tentang khalwat yang selesai diatas meja
petugas Polisi Syariat Islam (Wilayatul Hisbah) dan Satpol PP, apabila mereka
yang melanggar ini terjaring dalam razia dan telah menandatangani surat
perjanjian tidak akan mengulangi lagi perbuatannya beserta rekomendasi dari
orang tua pelanggar.
Penegakan sistem hukum Syariat Islam
memberikan efek yang sangat positif dalam menata kehidupan masyarakat Aceh dan
pelaksanaan hukuman cambuk yang dilakukan dihadapan publik akan memberikan efek
jera bagi para pelaku dan mencegah mereka untuk tidak melanggar kembali. Dalam
kajian yang lebih rasional hukuman cambuk masih lebih baik dari pada hukuman
kurungan atau hukuman penjara, karena secara realita mereka yang keluar dari
penjara masih melakukan hal yang sama ketika dia keluar dari sana. Bahkan di
penjarapun mereka masih bisa melakukan berbagai macam pelanggaran-pelanggaran
hukum lainnya. Memang, hukuman cambuk dengan rotan tidak akan menyisakan sakit
yang luar biasa atau malah kehilangan nyawa. Akan tetapi rasa malu yangmereka
dapat setelah hukuman cambuk akan diingat oleh siapapun mereka dan dia akan
mencoba untuk hidup lebih baik supaya bisa diterima oleh masyarakat serta tidak
akan mempermalukan keluarganya lagi. Jika demikian halnya untuk apa menentang
hukum Syariat Islam jika hukum nasional tidak bisa memperbaiki moral para
pelanggar hukum?
Mengenai kewenangan Mahkamah
Syar'iyah hanya sebatas mengadili dan memutuskan perkara yang telah diajukan
oleh penuntut umum (JPU) terhadap para pelanggar qanun-qanun ini, setelah
pelanggar dijatuhi vonis maka selanjutnya kan menjadi kewenangan Dinas Syariat
Islam dan Polisi Syariat Islam (WH) beserta Polri dan tim medis yang menindak
sesuai putusan hakim. Selain itu Mahkamah Syar`iyah juga tidak mempunyai
kewenangan dalam hal mengubah status pelanggar untuk menjadi tahanan lapas
karena memang Mahkamah Syar`iyah tidak mempunyai korodor yang sama dengan hukum
nasional peninggalan penjajah Belanda. Secara sistem memang sangat mendukung
upaya untuk menegakkan Syariat Islam di Aceh namun secara biaya sangat
berlawanan dengan cita-cita seluruh masyarakat Aceh ini. Semua pelanggaran
Qanun tidak bisa dilakukan hukuman cambuk karena tidak ada anggaran yang
mendukung. Ini memang kelihatan aneh, disaat semua cita-cita masyarakat Aceh
telah tercapai dan semua sistem hukum telah dibentuk dengan sedemikian baiknya,
alasan anggaran atau biaya masih menjadi kendala yang sangat mengerikan bagi
pengegakan syariat Islam selain adanya intervensi dari pusat tentang penegakan
syariat Islam ini.
Apakah Penegakan sistem hukum Syariat Islam melanggar HAM? Ini memang telah menjadi bahasan bersifat politik yang telah
dijadikan bahan diskusi jauh-jauh hari. Jika dikaji secara etika hukum Syariah
Islam lebih mempunyai etika dibandingkan dengan hukum KUHP dan hukuman syariat
Islam lebih adil dan manusiawi dibandingkan dengan hukum KUHP. Dalam hukum
Pidana Islam (Qanun Jinayat) bagi seorang pencuri, perampok dan koruptor akan
dipotong tangannya dan hukuman ini sangat setimpal dengan apa yang telah
dilakukan oleh para penjarah ini. Begitu pula dengan kasus penghilangan nyawa
orang lain, dalam hukum Syariat Islam pelaku pembunuhan juga akan dihilangkan
nyawanya (nyawa dibalas nyawa). Bagi meraka para penzina akan dihukum cambuk
dan dihukum rajam bagi mereka yang telah menikah dan melakukan perzinahan
dengan orang lain. Semuanya telah diatur dengan jelas, lantas untuk apa semua
ini dibantah. Yang menjadi persoalan adalah banyaknya golongan-golongan yang
menghasut dan mengitervensi masyarakat Aceh dan pemerintah Aceh untuk mengacuhkan
Syariat Islam dan secara tidak sadar telah menganjurkan kepada seluruh lini
masyarakat Aceh untuk menghancurkan Aceh ini dari semua sisi. Kita anak-anak
Aceh tentu harus kritis menanggapi seluruh polemik politik ini dan kita semua
anak-anak Aceh juga harus sadar akan bangsa Aceh yang semakin goyang.
+ comments + 3 comments
mantap. saleum syedara :)
@saddamTeurimong Geunaseh Syedara: Saddam, semoga Syariat Islam bisa dilaksanakan sesuai dengan qanun yang telah disahkan.
Salam, sebenarnya saya tidak seberapa mengerti tentang Aceh.... Tapi saya memberikan apresiasi kepada masyarakat Aceh yang menerapkan syariat Islam...
Post a Comment