Nanggroe Aceh - Jika mengunjungi Meseum Aceh yang
berada di Banda Aceh, pasti akan terlihat sebuah lonceng yang berukuran raksasa
yang berada sedikit jauh dengan lokasi Rumoh Aceh (rumah adat Aceh). Lonceng
ini adalah hadiah kaisar Yonglee yang berkuasa di daratan China atau Tiongkok
kepada Kerajaan Samudera Pasai sebagai wujud persahabatan kedua Kerajaan.
Lonceng ini diantarkan langsung oleh Laksamana Cheng Ho ketika melakukan
lawatan ke Aceh guna membangun kerjasama dalam bidang keamanan dan perdagangan.
Karena kala itu, Armada laut yang
dimiliki oleh Kerajaan Samudera Pasai sangat kuat bahkan didukung oleh sebuah
kapal induk paling besar di dunia pada saat itu yang kemudian berhasil direbut
oleh Spanyol. Tidak hanya itu, pelabuhan Samudera Pasai juga menjadi pelabuhan
yang paling maju, karena berada pada posisi yang sangat strategis di Selat
Malaka dan juga Aceh menjadi pengekspor rempah-rempah nomor satu.
Lonceng yang berbentuk stupa ini
memiliki tinggi 125 cm dan lebar 25 cm. Dibagian dinding luarnya ada tulisan
bahasa Arab yang sudah agak susah dibaca karena telah termakan usia, akan
tetapi tulisan Chinanya masih bisa dibaca dengan jelas kira-kira tertulis
seperti ini: “Sing Fang Niat Tong Juut Kat Yat Tjo yang berarti (Sultan Sing Fa
yang telah dituang dalam bulan 12 dari tahun ke 5). Lonceng ini diantar oleh
Laksamana Cheng Ho pada abad ke 15 sekitar tahun 1414 M, mungkin ini ada
kaitannya dengan tulisan China nya.
Sebenarnya lonceng ini tidak bernama dengan Lonceng Cakra Donya ketika masih berada di Kerajaan Samudera Pasai. Tidak jelas, nama apa yang diberikan pada lonceng ini ketika Laksamana Cheng Ho mengantarnya ke Kerajaan Samudera Pasai. Seperti yang telah dicatatkan sejarah, Kerajaan Samudera Pasai kemudian ditaklukkan oleh Kerajaan Aceh Darussalam dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayatsyah dan lonceng ini pun segera berpindah tangan dan menjadi milik Kerajaan Aceh Darussalam. Ketika Sultan Iskandar Muda memimpin (1607-1636), Kerajaan Aceh berada dalam puncak kejayaannya hingga memiliki daerah kekuasaan ke semenanjung Malaka (Malaysia) dan lonceng inipun ditabalkan sebagai alat penabuh aba-aba dan digantung di kapal induk Kerajaan Aceh yang bernama Cakra Donya ketika Aceh berperang melawan Portugis, sehingga lonceng ini pun bernama dengan Lonceng Cakra Donya. Ternyata Portugis sangat kagum dengan kekuatan lonceng ini sehigga mereka menyebutnya dengan Espanto del Mundo yang artinya,”Teror Dunia”.
Sayang sekali, kapal induk Aceh yang merupakan kapal perang terbesar dan kapal perang tercanggih ketika itu berhasil direbut oleh Portugis dan kemudian dikirim ke Spanyol sebagai lambang kemenangan. Salah seorang kapten kapal Portugis Faria y Sousa pernah mengucap kekagumannya terhadap kapal ini, “Tidak sia-sialah kapal itu diberi nama Cakra Donya. Betapa mulianya, betapa kuatnya! Betapa indahnya, betapa kayanya! Meskipun mata kita sudah capai karena sering heran melihat benda-benda indah, kami semua terbelalak melihat yang ini.”
Akan tetapi Lonceng Cakra Donya tidak direbut oleh Portugis, lonceng ini adalah hadiah termegah dari Kerajaan China dan bentuk ikatan persahabatan dengan China. Mungkin dengan pertimbangan itu, lonceng ini tidak pernah direbut oleh penjajah manapun. Dan Kerajaan Aceh pun selalu melindungi Lonceng ini sebagai lambang kekuatan Aceh sepanjang masa. Hingga sekarang, lonceng ini masih tergantung dengan kokoh di Meseum Aceh dan siapapun bisa menyentuhnya, tapi jangan membunyikannya. Lonceng Cakra Donya adalah lambang kedigdayaan Aceh masa silam yang selalu menjadi pelipur lara masyarakat Aceh dan selalu dikenang dalam cerita heroisme bangsa Aceh.
Sebenarnya lonceng ini tidak bernama dengan Lonceng Cakra Donya ketika masih berada di Kerajaan Samudera Pasai. Tidak jelas, nama apa yang diberikan pada lonceng ini ketika Laksamana Cheng Ho mengantarnya ke Kerajaan Samudera Pasai. Seperti yang telah dicatatkan sejarah, Kerajaan Samudera Pasai kemudian ditaklukkan oleh Kerajaan Aceh Darussalam dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayatsyah dan lonceng ini pun segera berpindah tangan dan menjadi milik Kerajaan Aceh Darussalam. Ketika Sultan Iskandar Muda memimpin (1607-1636), Kerajaan Aceh berada dalam puncak kejayaannya hingga memiliki daerah kekuasaan ke semenanjung Malaka (Malaysia) dan lonceng inipun ditabalkan sebagai alat penabuh aba-aba dan digantung di kapal induk Kerajaan Aceh yang bernama Cakra Donya ketika Aceh berperang melawan Portugis, sehingga lonceng ini pun bernama dengan Lonceng Cakra Donya. Ternyata Portugis sangat kagum dengan kekuatan lonceng ini sehigga mereka menyebutnya dengan Espanto del Mundo yang artinya,”Teror Dunia”.
Sayang sekali, kapal induk Aceh yang merupakan kapal perang terbesar dan kapal perang tercanggih ketika itu berhasil direbut oleh Portugis dan kemudian dikirim ke Spanyol sebagai lambang kemenangan. Salah seorang kapten kapal Portugis Faria y Sousa pernah mengucap kekagumannya terhadap kapal ini, “Tidak sia-sialah kapal itu diberi nama Cakra Donya. Betapa mulianya, betapa kuatnya! Betapa indahnya, betapa kayanya! Meskipun mata kita sudah capai karena sering heran melihat benda-benda indah, kami semua terbelalak melihat yang ini.”
Akan tetapi Lonceng Cakra Donya tidak direbut oleh Portugis, lonceng ini adalah hadiah termegah dari Kerajaan China dan bentuk ikatan persahabatan dengan China. Mungkin dengan pertimbangan itu, lonceng ini tidak pernah direbut oleh penjajah manapun. Dan Kerajaan Aceh pun selalu melindungi Lonceng ini sebagai lambang kekuatan Aceh sepanjang masa. Hingga sekarang, lonceng ini masih tergantung dengan kokoh di Meseum Aceh dan siapapun bisa menyentuhnya, tapi jangan membunyikannya. Lonceng Cakra Donya adalah lambang kedigdayaan Aceh masa silam yang selalu menjadi pelipur lara masyarakat Aceh dan selalu dikenang dalam cerita heroisme bangsa Aceh.
Post a Comment