Nanggroe Aceh - Sastra adalah suatu bentuk tulisan fiksi yang dirangkai sesuai jenisnya.
Sastra juga merupakan suatu budaya atau gambaran dari peradaban bangsa. Di
indonesia yang mempunyai berbagai macam suku bangsa tentu juga menghasilkan
berbagai macam model sastra yang berkembang dalam masyarakat. Misalnya Sastra
Aceh, yang pastinya berbahasa Aceh dan
berbahasa suku-suku yang ada di Aceh seperti suku Gayo, Aneuk Jamee, Tamiang,
Kluet dan lain sebagainya. Namun hanya yang berbahasa Aceh yang paling banyak
di ketahui oleh kebanyakan orang dan lainnya hanya berkembang di daerahnya
masing-masing.
Sastra Aceh telah berkembang di Aceh pesat ketika Aceh berada dalam
kejayaannya dimasa kerajaan Samudera Pasai dan seterusnya. Pada masa itu sastra
Aceh menjadi rujukan bagi sastra melayu dan cendekiawan Aceh adalah sastrawan
kelas dunia yang telah menghasilkan puluhan kitab-kitab karangan mereka. Contoh
kecilnya adalah Hamzah Fanshuri yang terkenal dengan Syair Perahu dan Tgk Chik
Pante Kulu dengan Hikayat Prang Sabi nya yang mampu memprovokasi semangat perang masyarakat
Aceh untuk melawan penjahah Belanda hingga syahid.
Pada masa Kerajaan Aceh sastrawan, cendekiawan dan ulama Aceh banyak
membuat karya sastra dalam bentuk hikayat untuk memupuk semangat ke-Islaman
masyarakat Aceh dalam menjalankan syariat Islam. Sementara ketika Aceh telah
mulai berperang melawan penjajah hikayat-hikayat itu berubah menjadi pembakar
semangat pejuang-pejuang Aceh untuk berperang sampai syahid tanpa ada rasa
takut sedikit pun. Sehingga tidak heran mengapa rakyat Aceh tidak pernah takut
untuk menyatakan perang. Ketika konflik Aceh antara DI/TII, GAM dan RI
hikayat-hikayat pembakar semangat juang terhadap penjajah seperti hikayat prang
sabi masih didengungkan hingga Aceh menjadi damai. Dalam catatan semua bangsa
yang pernah menjajah Aceh menyatakan bahwa Aceh adalah diantara negeri yang
sangat sulit ditaklukkan. Alasannya adalah semangat perang bangsa Aceh yang
dinilai oleh bangsa lain tidak waras.
Pada kenyataannya riwayat sastra bagi masyarakat Aceh adalah nyawa,
hikayat prang sabi telah menjadi provokator perang dalam diri orang Aceh.
Di abad ke-20 perkembangan sastra di Aceh telah
berkembang pesat, namun sayangnya hampir tidak ditemukan karya sastra anak Aceh
yang murni berbahasa Aceh. Kebanyakan karya sastra yang beredar di Aceh
berbahasa Indonesia dan diselingi dengan hanya beberapa saja konsonan kata
berbahasa Aceh untuk memberi kesan ke-Acehan padahal tidak Aceh sama sekali.
Namun tentu ini merupakan bentuk toleransi terhadap orang luar Aceh atau orang
Aceh yang tidak bisa berbahasa Aceh sama sekali. Ini merupakan cambukan yang
paling sakit untuk semua orang Aceh dan sastrawan Aceh untuk tetap menulis
karya sastra Aceh seperti sastrawan Aceh dahulu yang terkenal keseluruh dunia. Seperti
Hikayat-hikayat yang memiliki kekuatan
dan bertahan sampai sekarang, antara lain adalah Syair perahu (Hamzah
Fanshuri), Bustanul as salatin (Nuruddin Arraniry), dan Hikayat Prang Sabil
(Tgk Chik Pante Kulu), Hikayat Malem Dagang, Hikayat Pocut Muhammad, Hikayat
Putroe Bungsu dan beberapa hikayat lainnya.
kesimpulannya adalah karya sastra yang dihasilkan oleh sastrawan jaman dahulu mampu menjadi nyawa bagi orang Aceh dan bahkan sastra memprovokasi semangat perang orang Aceh. Semua itu tidak lagi nampak pada karya-karya sastra sekarang. Jika pun ada yang demikian, bukan malah membangkitkan semangat perang tapi lebih kepada mengungkit trauma masyarakat atau menimbulkan kembali rasa sakit hati terhadap korban-korban perang.
Post a Comment