Dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 disebutkan bahwa Negara Indonesia
berdasarkan atas negara hukum (the rule of law). Pakar ilmu
sosial, Franz-Magnis Suseno,
melihat bahwa perlindungan HAM adalah salah satu elemen dari the rule
of law, selain hukum yang adil. Kita bisa melacak akar prinsip the
rule of law dari putusan-putusan pengadilan internasional seperti
Pengadilan Hak Azasi Manusia (HAM) Eropa dan Komite HAM Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB), untuk mengetahui dan mengukur seberapa jauh posisi negara
terhadap agama dan kepercayaan menurut the rule of law.
Perdebatan boleh atau tidaknya memunculkan identitas keagamaan di ruang
publik telah lama menjadi perdebatan di Pengadilan HAM Eropa dan Komite HAM
PBB. Komite HAM PBB memutuskan di dalam kasus K. Binder Singh melawan Kanada
bahwa negara dapat melarang penggunaan identitas keagamaan di ruang
publik. Larangan tersebut berdasarkan atas Pasal 18 ayat (3) Kovenan
Hak Sipil dan Politik (SIPOL). Negara
dapat melarang identitas keagamaan di ruang publik untuk melindungi hak dan
kebebasan kelompok lain. Hal yang paling penting adalah negara harus mengambil
posisi netral di dalam masalah keagamaan. Negara tidak boleh mengakomodasi
identitas atau simbol agama ataupun kepercayaan.
Pengadilan
HAM Eropa lebih tegas di dalam memutus perdebatan boleh atau tidaknya identitas
keagamaan di ruang publik. Pengadilan HAM Eropa memutuskan di dalam Kasus Sahin
melawan Turki bahwa negara harus melarang pemakaian identitas keagamaan di
ruang publik. Sahin, seorang mahasiswi yang memakai jilbab, memprotes pelarang
penggunaan jilbab di universitas negeri di Turki. Sahin berargumen
bahwa hak memakai jilbab adalah hak perempuan. Tetapi Pengadilan HAM Eropa
berpendapat negara harus netral di dalam masalah keagamaan. Pelarangan
pemakaian jilbab di universitas negeri di Turki bukan merupakan bentuk pelanggaran
HAM karena terdapat nilai-nilai pluralisme dan toleransi yang lebih penting di
dalam suatu masyarakat yang demokratis.
The
rule of law mensyaratkan
agar negara harus mengambil posisi netral di dalam masalah keagamaan dan
kepercayaan. Negara hanya boleh mengakomodasi pendidikan dan bahasa untuk
kelompok-kelompok minoritas agama dan kepercayaan. Dan sebaliknya,
negara tidak boleh mengakomodasi identitas keagamaan dan kepercayaan baik
kelompok mayoritas maupun minoritas di ruang publik. Keberadaan sekolah-sekolah
keagamaan dan penggunaan bahasa untuk kelompok minoritas adalah sah atas dasar
perlindungan kelompok-kelompok minoritas menurut Komite HAM PBB dan Pengadilan
HAM Eropa ketika memutus kasus-kasus tersebut di atas. Tidak seperti
di Turki maupun Kanada, Konstitusi Indonesia tidak menjelaskan apakah negara
sekuler atau tidak. Tetapi Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 secara tegas menyatakan
bahwa Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum.
Terkait dengan perda syariah, tampak bahwa negara
sangat tidak netral dalam masalah keagamaan dan
kepercayaan, serta tidak konsisten dengan subtansi Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Selain itu, perda syariah berpotensi mengancam pluralisme dan toleransi, di
mana suatu hal yang sangat sulit untuk mendukung pluralisme dan toleransi ketika
negara tidak netral di dalam masalah keagamaan dan kepercayaan.
Post a Comment