Jangan jadikan COPAS (Copy-Paste) sebagai budaya ! ! !
Pin It

Syari`at Islam Dalam Sistem Sosial Indonesia

1comments


Syari`at Islam Dalam Sistem Sosial Indonesia
Secara yuridis normatif pemberlakuan syariah Islam di era otonomi daerah ditetapkan melalui instrumen legislatif daerah utamanya peraturan daerah (perda) yang memiliki kekuatan hukum dan politis. Kendatipun Undang-Undang tentang otonomi daerah tidak memberi wewenang bidang peradilan dan agama kepada daerah, tetapi dalam praktiknya, perda-perda itu masuk kedalam ranah persoalan agama. Karenanya, keberadaan perda-perda syariah itu perlu terus dikaji untuk menguji, apakah peraturan-peraturan daerah tersebut bertentangan dengan undang-undang dan Konstitusi atau tidak. Karenanya dalam kenyataannya, perda syariah tidak jarang menimbulkan rresistensi sosial yang memicu perdebatan dalam masyarakat.
Selain menimbulkan kontroversi yang memicu ketegangan dan konflik sosial, perda syariah juga dikhawatirkan dapat menjadi alat politisasi agama. Perda dengan begitu dapat kehilangan otoritas relijiusnya dan hanya menjadi kebijakan publik biasa dari pemerintah daerah yang bersangkutan. Gejala ‘politik syariah’ ini juga paradoks, karena mengajarkan kepalsuan dan kemunafikan dalam keberagamaan, padahal inti keberagamaan adalah toleransi. Di daerah perda syariah, masyarakat tampak lebih taat beragama, namun diragukan bahwa ketaatan itu refleksi ketulusan, kesadaran, dan kedewasaan. Sangat mungkin ketaatan itu lahir, karena rasa takut pada aparat negara. Bila benar, maka ini pertanda terjadinya reduksi mendasar terhadap prinsip-prinsip syariah, sebab, dilihat dari sifat dan tujuannya, syariah hanya bisa dijalankan dengan sukarela oleh penganutnya. Sebaliknya, prinsip-prinsip syariah akan kehilangan otoritas dan nilai agamanya apabila dipaksakan oleh negara. Sifat relijius syariah dan fokusnya pada pengaturan hubungan antara Tuhan dan manusia, mungkin satu-satunya alasan utama bertahan dan berkembangnya pengadilan-pengadilan sekular yang berfungsi memutuskan perkara-perkara praktis dalam pelaksanaan peradilan dan pemerintahan secara umum.
Namun demikian, dukungan masyarakat terhadap perda sangat jelas dan kuat. Pemberlakuan syariah lewat perda-perda itu pada umumnya diketahui dan disetujui kebanyakan masyarakat Muslim. Meski bagi masyarakat yang tidak setuju, perda syari’ah dinilai antara lain mengganggu kerukunan antar umat beragama, tetapi bagi masyarakat yang setuju, menerapkan syariah lewat perda dianggap sebagai perintah agama. Bagi sebagian mereka, perda syariah bahkan diharapkan dapat menjadi solusi bagi berbagai masalah yang membelit bangsa dewasa ini. Harapan ini tampaknya dipengaruhi oleh kegagalan negara mengintegrasikan program-program politik, budaya, dan ekonomi, dengan sistem nilai-nilai dan worldview yang hidup dalam masyarakat dan juga kegagalan (kurang berhasilnya) modernisasi dalam berbagai bidang yang dilakukan negara.
Kendatipun demikian, manfaat yang paling terasa dari perda-perda syariah adalah meningkatnya keamanan dan ketertiban masyarakat misalnya, kebiasaan anak-anak muda yang mabuk-mabukan dan berjudi di gang-gang perkampungan menjadi hilang. Meningkatnya rasa aman dalam masyarakat perlu dicermati dan diteliti lebih lanjut, karena gejala ini boleh jadi sekadar efek atau refleksi dari ketakutan publik pada syariah. Jika benar, maka gejala ini bukanlah cerminan sesungguhnya dari menguatnya institusi hukum dan keamanan. Artinya, yang sesungguhnya berlangsung bukanlah kepatuhan hukum warga negara akibat dari situasi objektif yang tercipta, melainkan karena rasa takut kepada polisi syariah yang dipersepsikan menjalankan tugas mereka atas nama agama. Gejala ini dapat menggeser otoritas keamanan dari institusi kepolisian ke otoritas syariah. Ini tentu berbahaya, karena citra dan peran institusi keamanan akan terus merosot. Pada gilirannya, ini akan menimbulkan ketegangan di antara otoritas syariah dan otoritas kepolisian.
Sebagai kebijakan publik, perda-perda itu kurang demokratis secara prosedural. Hal ini dikarenakan rendahnya partisipasi masyarakat dalam proses penerbitan perda syariah. Artinya agenda penerapan syariah cenderung dilakukan secara tertutup, tanpa proses dialog yang partisipatif dengan melibatkan sebanyak mungkin elemen masyarakat, baik komunitas non-Muslim maupun komunitas Muslim. Fakta ini memperkuat dugaan bahwa perda syariah adalah agenda politik elit. Sebagaimana telah diungkap, sebagian masyarakat yang diteliti mengakui adanya politisasi syariah. Hampir sepertiga dari mereka menyatakan bahwa formalisasi syariah tidak jarang menjadi isu kampanye dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada). Menurut mereka, politisasi syariah juga terjadi dalam pemilu nasional yang dilakukan partai-partai tertentu untuk menarik perhatian pemilih dalam jumlah yang besar. Bahkan, perda syariah disinyalir sebagai movepolitik elite daerah, guna mengalihkan perhatian rakyat dari penderitaan ekonomi yang dialaminya.
Meski mendapat dukungan kuat publik Muslim, rendahnya partisipasi publik dalam proses penerapan syariah memperkuat dugaan bahwa ‘politik syariah’ sebagai agenda elit. Hinga kini, pemerintah pusat terkesan mendiamkan gejala ini meski muncul kekhawatiran dari banyak kalangan. Banyaknya kepentingan publik yang ‘ditabrak’ sebagai dampak perda syariah pada dasarnya mengkonfirmasi asumsi di atas. Seperti telah disebutkan berulang kali dalam buku ini, penerapan syariah di berbagai daerah mengancam atau bahkan sebagiannya melanggar kebebasan sipil, hak-hak perempuan, dan non-Muslim. Hal ini terjadi, karena antara lain konstruk syariah tradisional yang dalam beberapa hal memang problematik, jika diukur dengan ukuran HAM universal.
Sikap tidak toleran dan ekslusivisme juga merebak di daerah-daerah. Hal ini jelas terlihat dari rendahnya keinginan untuk hidup secara berdampingan dengan kelompok minoritas lainnya, serta rendahnya penghargaan terhadap kebebasan beragama kelompok minoritas. Pengrusakan rumah-rumah ibadah yang meningkat dalam beberapa tahun belakangan adalah contoh ekstrim intoleransi dalam masyarakat Islam belakangan ini. Selama 12 bulan terakhir saja, misalnya, terdapat banyak  gereja yang diserang oleh sekelompok orang, seperti yang terjadi di Jawa Barat, Aceh, Bengkulu, Jawa Tengah, dan Sumatera Utara.
Yang perlu dicermati dari gejala perda syariah adalah, selain menunjukkan kembalinya syariah ke ruang publik, tren perda-perda syariah di tingkat lokal ini juga merefleksikan gejala baru Islamisasi, yaitu usaha untuk mengkonstruksi masyarakat yang Islami melalui otoritas politik lokal. Di daerah-daerah kantong Islam tersebut, para pendukung gerakan-gerakan pro-syariah menyatakan perang melawan segala bentuk maksiat yang dianggap sebagai representasi budaya sekular yang mencemari ajaran Islam. Faktor ketidakpastian hukum serta degradasi moral sosial secara signifikan telah mendorong lahirnya kelompok Islam yang mendukung penerapan syariah “secara paksa” oleh negara. Deprivasi sosial akibat krisis ekonomi-politik juga secara fundamental membuka jalan bagi desakan-desakan penerapan syariah oleh negara tersebut.
Sikap negara yang cenderung mendiamkan pelanggaran HAM yang ditimbulkan perda-perda syariah tersebut memunculkan dugaan bahwa perda ini “direstui” negara. Sikap ini beresiko, karena akan memancing dunia internasional mempertanyakan komitmen Indonesia pada penegakan HAM dan pluralisme. Karenanya, pemerintah perlu secara sungguh-sungguh membatalkan semua perda syariah yang bertentangan dengan HAM.
Secara historis, syari’ah tradisional yang kita kenal adalah produk ulama, terutama pada abad ke-7 dan 8, dalam memahami teks-teks suci Islam yang dipengaruhi dan dibenarkan masanya yang belum mengenal HAM universal yang baru lahir pada tahun 1948. Celahnya dengan menekankan syari’ah pada pertimbangan kemaslahatan kemanusiaan, baik dalam konteks lokal maupun nasional.  Dengan demikian, tanpa menghilangkan sifatnya yang bersumber dari teks suci, syariah pun akan bersifat modern dan rasional, bahkan dimungkinkan untuk didialogkan dan diterima warga non-Muslim dalam bingkai naton state seperti Indonesia.

Share this article :

+ comments + 1 comments

Anonymous
October 14, 2014 at 2:18 AM

Ini yg nulis sekilas terlihat cerdas tp makin lama terlihat bodohnya, terutama kebodohannya dalam memahami Islam sehingga dianggap layak disandingkan dgn ham, anda perlu belajar lg bung !

Post a Comment

 
Copyright © 2013. Nanggroe Aceh - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modify by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger
DMCA.com