Secara yuridis normatif pemberlakuan syariah Islam di era otonomi daerah
ditetapkan melalui instrumen legislatif daerah utamanya peraturan daerah
(perda) yang memiliki kekuatan hukum dan politis. Kendatipun Undang-Undang
tentang otonomi daerah tidak memberi wewenang bidang peradilan dan agama kepada
daerah, tetapi dalam praktiknya, perda-perda itu masuk kedalam ranah persoalan
agama. Karenanya, keberadaan perda-perda syariah itu perlu terus dikaji untuk
menguji, apakah peraturan-peraturan daerah tersebut bertentangan dengan
undang-undang dan Konstitusi atau tidak. Karenanya dalam kenyataannya, perda
syariah tidak jarang menimbulkan rresistensi sosial yang memicu perdebatan
dalam masyarakat.
Selain menimbulkan
kontroversi yang memicu ketegangan dan konflik sosial, perda syariah juga
dikhawatirkan dapat menjadi alat politisasi agama. Perda dengan begitu dapat
kehilangan otoritas relijiusnya dan hanya menjadi kebijakan publik biasa dari
pemerintah daerah yang bersangkutan. Gejala ‘politik syariah’ ini juga
paradoks, karena mengajarkan kepalsuan dan kemunafikan dalam keberagamaan,
padahal inti keberagamaan adalah toleransi. Di daerah perda syariah, masyarakat
tampak lebih taat beragama, namun diragukan bahwa ketaatan itu refleksi ketulusan,
kesadaran, dan kedewasaan. Sangat
mungkin ketaatan itu lahir, karena rasa takut pada aparat negara. Bila benar,
maka ini pertanda terjadinya reduksi mendasar terhadap prinsip-prinsip syariah,
sebab, dilihat dari sifat dan tujuannya, syariah hanya bisa dijalankan dengan
sukarela oleh penganutnya. Sebaliknya,
prinsip-prinsip syariah akan kehilangan otoritas dan nilai agamanya apabila
dipaksakan oleh negara. Sifat relijius syariah dan fokusnya pada pengaturan
hubungan antara Tuhan dan manusia, mungkin satu-satunya alasan utama bertahan
dan berkembangnya pengadilan-pengadilan sekular yang berfungsi memutuskan
perkara-perkara praktis dalam pelaksanaan peradilan dan pemerintahan secara
umum.
Namun
demikian, dukungan masyarakat terhadap perda sangat jelas dan kuat.
Pemberlakuan syariah lewat perda-perda itu pada umumnya diketahui dan disetujui
kebanyakan masyarakat Muslim. Meski bagi masyarakat yang tidak setuju, perda
syari’ah dinilai antara lain mengganggu kerukunan antar umat beragama, tetapi
bagi masyarakat yang setuju, menerapkan syariah lewat perda dianggap sebagai
perintah agama. Bagi sebagian mereka, perda syariah bahkan diharapkan dapat
menjadi solusi bagi berbagai masalah yang membelit bangsa dewasa ini. Harapan
ini tampaknya dipengaruhi oleh kegagalan negara mengintegrasikan
program-program politik, budaya, dan ekonomi, dengan sistem nilai-nilai
dan worldview yang hidup dalam masyarakat dan juga
kegagalan (kurang berhasilnya) modernisasi dalam berbagai bidang yang dilakukan
negara.
Kendatipun
demikian, manfaat yang paling terasa dari perda-perda syariah adalah
meningkatnya keamanan dan ketertiban masyarakat misalnya, kebiasaan anak-anak
muda yang mabuk-mabukan dan berjudi di gang-gang perkampungan menjadi hilang.
Meningkatnya rasa aman dalam masyarakat perlu dicermati dan diteliti lebih
lanjut, karena gejala ini boleh jadi sekadar efek atau refleksi dari ketakutan
publik pada syariah. Jika benar, maka gejala ini bukanlah cerminan sesungguhnya
dari menguatnya institusi hukum dan keamanan. Artinya, yang sesungguhnya
berlangsung bukanlah kepatuhan hukum warga negara akibat dari situasi objektif
yang tercipta, melainkan karena rasa takut kepada polisi syariah yang
dipersepsikan menjalankan tugas mereka atas nama agama. Gejala ini dapat
menggeser otoritas keamanan dari institusi kepolisian ke otoritas syariah. Ini
tentu berbahaya, karena citra dan peran institusi keamanan akan terus merosot.
Pada gilirannya, ini akan menimbulkan ketegangan di antara otoritas syariah dan
otoritas kepolisian.
Sebagai
kebijakan publik, perda-perda itu kurang demokratis secara prosedural. Hal ini
dikarenakan rendahnya partisipasi masyarakat dalam proses penerbitan perda
syariah. Artinya agenda penerapan syariah cenderung dilakukan secara tertutup,
tanpa proses dialog yang partisipatif dengan melibatkan sebanyak mungkin elemen
masyarakat, baik komunitas non-Muslim maupun komunitas Muslim. Fakta ini
memperkuat dugaan bahwa perda syariah adalah agenda politik elit. Sebagaimana
telah diungkap, sebagian masyarakat yang diteliti mengakui adanya politisasi
syariah. Hampir sepertiga dari mereka menyatakan bahwa formalisasi syariah
tidak jarang menjadi isu kampanye dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Menurut mereka, politisasi syariah juga terjadi dalam pemilu nasional yang
dilakukan partai-partai tertentu untuk menarik perhatian pemilih dalam jumlah
yang besar. Bahkan, perda syariah disinyalir sebagai movepolitik
elite daerah, guna mengalihkan perhatian rakyat dari penderitaan ekonomi yang
dialaminya.
Meski
mendapat dukungan kuat publik Muslim, rendahnya partisipasi publik dalam proses
penerapan syariah memperkuat dugaan bahwa ‘politik syariah’ sebagai agenda
elit. Hinga kini, pemerintah pusat terkesan mendiamkan gejala ini meski muncul
kekhawatiran dari banyak kalangan. Banyaknya kepentingan publik yang ‘ditabrak’
sebagai dampak perda syariah pada dasarnya mengkonfirmasi asumsi di atas.
Seperti telah disebutkan berulang kali dalam buku ini, penerapan syariah di
berbagai daerah mengancam atau bahkan sebagiannya melanggar kebebasan sipil, hak-hak
perempuan, dan non-Muslim. Hal ini terjadi, karena antara lain konstruk syariah
tradisional yang dalam beberapa hal memang problematik, jika diukur dengan
ukuran HAM universal.
Sikap
tidak toleran dan ekslusivisme juga merebak di daerah-daerah. Hal ini jelas
terlihat dari rendahnya keinginan untuk hidup secara berdampingan dengan
kelompok minoritas lainnya, serta rendahnya penghargaan terhadap kebebasan
beragama kelompok minoritas. Pengrusakan rumah-rumah ibadah yang
meningkat dalam beberapa tahun belakangan adalah contoh ekstrim intoleransi
dalam masyarakat Islam belakangan ini. Selama 12 bulan terakhir saja, misalnya,
terdapat banyak gereja yang diserang oleh sekelompok orang, seperti
yang terjadi di Jawa Barat, Aceh, Bengkulu, Jawa Tengah, dan Sumatera Utara.
Yang
perlu dicermati dari gejala perda syariah adalah, selain menunjukkan kembalinya
syariah ke ruang publik, tren perda-perda syariah di tingkat lokal ini juga
merefleksikan gejala baru Islamisasi, yaitu usaha untuk mengkonstruksi
masyarakat yang Islami melalui otoritas politik lokal. Di daerah-daerah kantong
Islam tersebut, para pendukung gerakan-gerakan pro-syariah menyatakan perang
melawan segala bentuk maksiat yang dianggap sebagai representasi budaya sekular
yang mencemari ajaran Islam. Faktor ketidakpastian hukum serta degradasi moral
sosial secara signifikan telah mendorong lahirnya kelompok Islam yang mendukung
penerapan syariah “secara paksa” oleh negara. Deprivasi sosial akibat krisis
ekonomi-politik juga secara fundamental membuka jalan bagi desakan-desakan
penerapan syariah oleh negara tersebut.
Sikap
negara yang cenderung mendiamkan pelanggaran HAM yang ditimbulkan perda-perda
syariah tersebut memunculkan dugaan bahwa perda ini “direstui” negara. Sikap
ini beresiko, karena akan memancing dunia internasional mempertanyakan komitmen
Indonesia pada penegakan HAM dan pluralisme. Karenanya, pemerintah perlu secara
sungguh-sungguh membatalkan semua perda syariah yang bertentangan dengan HAM.
Secara
historis, syari’ah tradisional yang kita kenal adalah produk ulama, terutama
pada abad ke-7 dan 8, dalam memahami teks-teks suci Islam yang dipengaruhi dan
dibenarkan masanya yang belum mengenal HAM universal yang baru lahir pada tahun
1948. Celahnya dengan menekankan syari’ah pada pertimbangan kemaslahatan
kemanusiaan, baik dalam konteks lokal maupun nasional. Dengan
demikian, tanpa menghilangkan sifatnya yang bersumber dari teks suci, syariah
pun akan bersifat modern dan rasional, bahkan dimungkinkan untuk didialogkan
dan diterima warga non-Muslim dalam bingkai naton state seperti
Indonesia.
+ comments + 1 comments
Ini yg nulis sekilas terlihat cerdas tp makin lama terlihat bodohnya, terutama kebodohannya dalam memahami Islam sehingga dianggap layak disandingkan dgn ham, anda perlu belajar lg bung !
Post a Comment