Nanggroe Aceh - Pemerintah Pusat (Jakarta) dibuat
kelabakan atas Penetapan bendera Bulan-Bintang sebagai simbol Provinsi Aceh
dalam Qanun Nomor 3 tahun 2013 tentang bendera dan lambang Aceh yang menuai pro
dan kontra. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dipaksa harus ikut turun-tangan
guna menyelsaikan Polemik Bendera dan Lambang Aceh. Ia memberikan perhatian
yang cukup besar untuk hal ini. SBY bahkan menugaskan Menteri Dalam Negeri
Gamawan Fauzi untuk mencari jalan keluar lambang atau bendera Aceh. Presiden
sudah menugaskan Mendagri untuk menyelesaikan dalam 1 minggu. Aceh Kibarkan Bendera Sendiri, Jakarta Kebakaran Jenggot karena sibuk dengan masalah politik penguasa yang tak kunjung usai. Dalam hal ini Aceh telah maju satu langkah dari pusat.
“Jangan dibawa ke sana ke mari, Kalau ada yang salah
bisa dicarikan solusi. Kita harus cepat, tepat, dan serius,” ujar SBY.
Mendagri Gamawan Fauzi, akhirnya
mengutus Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri,
Djohermansyah Djohan, menemui pemerintah Provinsi Aceh, Selasa 2 April 2013. Pemerintah
RI melalui Kementerian Dalam Negeri memberikan beberapa catatan atas pengesahan
Qanun Nomor 3 Tahun 2013 tentang Lambang dan Bendera Aceh, Jumat 25 Maret 2013,
oleh Gubernur dan DPR Aceh. Jakarta menganggap penggunaan bendera dan lambang
GAM dalam bendera Aceh menyalahi Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007
tentang Lambang Daerah.
“Pasal 6 ayat 4 Peraturan Pemerintah
Nomor 77 Tahun 2007 menyatakan desain logo dan bendera daerah tidak boleh sama
dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau gerakan separatis.
Kebetulan lambang yang dipilih Aceh ini mirip lambang GAM,” kata Gamawan di
kantor Presiden, Jakarta. Gamawan berdalih, Lambang dan Bendera Aceh tersebut
bertentangan dengan semangat MoU (Memorandum of Understanding) Helsinki.
Nota kesepahaman Helsinki adalah
perjanjian damai antara pemerintah RI dengan GAM yang ditandatangani di
Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005. Perundingan damai ini merupakan inisiatif
Wakil Presiden Jusuf Kalla yang saat itu menjabat, dan dimediasi oleh Presiden
Finlandia Martti Ahtisaari yang memimpin lembaga Crisis Management Initiative –
organisasi asal Finlandia yang bekerja untuk mengatasi konflik dan membangun
perdamaian yang berkesinambungan.
Kesepakatan Helsinki Bagian I
tentang Penyelenggaraan Pemerintah di Aceh sesungguhnya berbunyi “Aceh memiliki
hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah, termasuk bendera, lambang, dan
himne.”
Tokoh perdamaian Aceh Jusuf Kalla
menyarankan agar Pemerintah Provinsi Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh
(DPRA) merevisi Qanun Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh.
"Lebih baik menggunakan lambang
yang merefleksikan kejayaan Aceh di masa lalu yang ada gambar pedangnya,"
kata Wakil Presiden 2004-2009 itu saat ditemui di kantornya, Rabu (27/3).
Kalla menghimbau agar pemerintah
pusat bersikap tegas sekaligus memberikan alternatif terhadap persoalan gambar
dan lambang daerah tersebut. "Persetujuan ada di tangan pusat. Namun,
pemerintah mengambil posisi untuk mencari alternatif sepanjang sesuai dengan
sejarah kejayaan Aceh," ujarnya.
Sedangakan, Menteri Pertahanan RI,
Purnomo Yusgiantoro bahkan menyebut ada motif lain disahkannya Qanun (peraturan
daerah) tentang bendera dan lambang Aceh.
"Semacam pembentukan kepala
pemerintah dan menteri-menterinya. Tapi itu yang sedang kami pelajari,"
kata Purnomo saat ditemui Jakarta Pusat, Selasa, 2 April 2013.
Dia pun mengaku mendapat sejumlah
laporan lain tentang keadaan di Aceh dari Panglima Komando Daerah Militer Aceh.
Saat disinggung informasi apa saja, Purnomo bungkam. Sementara Ketua MPR Taufiq
Kiemas mengharapkan masalah ini bisa diselesaikan dengan arif baik dari Aceh
maupun pemerintah pusat.
"Saya rasa itu perdebatan, kedua belah pihak harus mengerti, bahwa secara psikologis hal itu mengganggu tidak hubungan antara pusat dan daerah? Mudah-mudahan kedua belah pihak mengerti dan menghargai aspirasi, dan dengan kearifan bisa menyelesaikan masalah tersebut," harap Kiemas.
Anggota Komisi III DPR, Eva Kusuma
Sundari menyatakan pemerintah pusat harus tegas menolak pengesahan Qanun Nomor
3 tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh. Menurutnya, meski dalam
kesepakatan damai antara GAM dan Indonesia di Helsinki mengatur soal izin
lambang GAM digunakan di Aceh, namun hal itu sangat berisiko bagi keutuhan
NKRI.
"Pemerintah Pusat harus tegas
menolak pengesahan Qanun 3/2013 tentang Bendara dan Lambang Aceh yang
menetapkan bendera GAM (Gerakan Aceh Merdeka) sbg bendera Propinsi. Tidak pada
tempatnya Provisi Aceh menggunakan simbol-simbol yang konsekwensi menjauh dari
ber-NKRI," ujar Eva di Gedung DPR, Senayan, Senin (1/4/2013).
"Walau kesepakatan Perjanjian
Damai Helsinki membolehkan bendera dan simbol Aceh, tapi Pemprov Aceh harus
juga tunduk pada seluruh UU NKRI misalnya berkaitan dengan UU yang melarang
penggunaan bendera organisasi terlarang termasuk GAM," timpal Sundari
lagi.
Bendera Aceh Selesaikan Dengan Dialog
Sosiolog Thamrin A. Tomagola
mengatakan pengesahan bendera Aceh yang baru merupakan perwujudan karakter
masyarakat Aceh sehingga tidak bisa disebut sebagai upaya untuk memisahkan diri
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Mereka sebenarnya mau menegaskan
identitas mereka saja. Masyarakat Aceh punya karakter seperti itu, (bendera)
itu wujudnya," katanya usai hadir dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu
(27/3).
Namun, jika pemerintah pusat merasa
dirugikan dengan pengesahan bendera berlambang bulan bintang dan logo burak
singa tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat dan Gubernur Aceh bisa digugat.
"Kalau kemudian pemerintah pusat merasa 'gentlement agreement'-nya
dilanggar, gugat saja," katanya menambahkan.
Anggota DPR-RI Komisi I, Nurul
Arifin, berpendapat, bendera GAM (Gerakan Aceh Merdeka) yang dijadikan sebagai
bendera Aceh tersebut boleh digunakan asal mengandung nilai-nilai yang
berketentuan bahwa Aceh itu merupakan bagian dari NKRI.
“Kalau melihat dengan MoU Helsinki
memang masalah lambang tersebut boleh digunakan. Saya kira kembali tentang MoU
tersebut tidak seharusnya secara tekstual begitu, tapi harus ada secara
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya Aceh sendiri sebagai bagian dari NKRI,”
ujar Nurul kepada wartawan, Jakarta, Selasa (02/04/2013).
“Jadi harus ada besaran hati dari
Aceh sendiri, yang sesuai ideologi orang Aceh sendiri. Nah, kalau memang masih
negara kesatuan tidak memprovokasi dengan pengibaran bendera dan sebagainya
itu,” tandas Nurul.
Ditempat berbeda, Ketua Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman mengatakan, polemik soal peraturan daerah
(Qanun) Aceh tidak perlu terjadi jika Mendagri Gamawan Fauzi mengikuti dengan
seksama aspirasi yang berkembang di bumi serambi Mekkah itu. Jangan sampai istilah Aceh Kibarkan Bendera Sendiri, Jakarta Kebakaran Jenggot membuat pusat semakin kelabakan.
"Yang terbaik dilakukan
mendagri dalam menyikapi Qanun adalah dialog dan komunikasi yang intens.
Pemerintah harus memprakarsai itu," kata Irman Gusman, kepada wartawan di
Jakarta, Senin (1/4).
Peraturan yang mengatakan bahwa
Kemendagri baru bisa memverifikasi Qanun setelah disahkan, menurut Irman tidak
boleh dijadikan alasan mendagri untuk bersikap pasif. Sikap yang diperlihatkan
Kemdagri dalam menyikapi qanun tersebut, menurut Irman, lebih bersikap reaktif.
"Sementara Qanun tentu sudah mengalami proses pembahasan dan internalisasi
sehingga sulit dicabut begitu saja," ujar senator asal Sumatera Barat itu.
Irman menghimbau semua pihak untuk
kembali menghayati semangat perdamaian dari perjanjian Helsinki.
"Perjanjian Helsinki itu janji kita untuk mewujudkan kedamaian dan
kesejahteraan bagi rakyat Aceh. Kita harus ingat itu," tegas Irman.
Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra
Fadli Zon dalam pesan singkatnya dilansir Liputan6 di Jakarta, Rabu (3/4/2013),
Mengatakan, perbedaan pandangan soal Bendera Aceh itu adalah suatu hal yang
wajar.
"Sejauh perbedaan tersebut tak
mengarah pada konflik yang menganggu situasi damai di Aceh," jelas Fadli.
Fadli mengusulkan 3 solusi menyelesaikan polemik
bendera GAM ini. Pertama, diadakan upaya dialogis dan demokratik, yakni melalui
mekanisme yang terlembaga. Kedua, proses yang berjalan memperhatikan aspirasi
warga dan Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki yang ditandatangani di Helsinki,
Finlandia, pada 15 Agustus 2005.
"Dan ketiga, yang paling utama,
polemik ini harus memelihara situasi damai dan menunjang iklim kondusif
masyarakat Aceh dalam melakukan aktivitas ekonominya dan membangun
kesejahteraannya," ucap Fadli. Dia pun mengimbau agar menghargai aspirasi
warga Aceh. "Namun sebagai bendera NKRI harus Merah Putih. Perlu dicatat,
rakyat Aceh sangat berjasa dalam kemerdekaan RI dan ikut dalam mempertahankan
kemerdekaan RI tahun 1945-1949. Aceh punya saham terhadap kemerdekaan RI,"
kata pria kelahiran Jakarta, 1 Juni 1971 ini.
Seperti diketahui, Klausul adanya
bendera Aceh tidak tercantum dalam perjanjian Helsinki. Dalam Qanun tersebut,
Bendera dan Lambang Aceh ditetapkan layaknya bendera Aceh (bulan bintang)
dengan warna putih dan hitam. Untuk lambang akan terdiri atas gambar singa,
buraq, rencong, gliwang, perisai, rangkaian bunga, daun padi, jangkar, huruf ta
dalam tulisan Arab. Kemudian, gambar bulan bintang dengan semboyan Hudep Beu
Sare Mate Beu Sajan.
Dalam Nota Kesepahaman MoU Helsinki antara Pemerintah dan GAM artikel 1.1 Undang-undang tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh dan 1.1.5 disebutkan Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang dan hymne. Orang Aceh berharap agar masalah ini bisa diselesaikan secepatnya dan damai Aceh tetap terjaga.
Dalam Nota Kesepahaman MoU Helsinki antara Pemerintah dan GAM artikel 1.1 Undang-undang tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh dan 1.1.5 disebutkan Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang dan hymne. Orang Aceh berharap agar masalah ini bisa diselesaikan secepatnya dan damai Aceh tetap terjaga.
Post a Comment