Ini merupakan sambungan tulisan saya di part yang sebelumnya.
Dalam
berbagai aspek adat perkawinan suku Aceh di kota Lhokseumawe tidak bertentangan
dengan ajaran Islam. Bahkan, sangat erat ikatannya “hukom ngen adat lagee zat
ngen sipheuet’’. Adat
ini memang diciptakan oleh para leluhur, akan tetapi tidak terlepas dari
pedoman hukum Islam. Dikarenakan masyarakat Aceh sangat kental dengan
keislamannya, sehingga ajaran-ajaran Islam ikut terawa kedalam struktur adat
dan kebudayaan bangsa Aceh.
Setelah
dipahami ternyata tidak ada penyimpangan adat terhadap hukum Islam yang telah
lama berlaku di kawasan ini sejak masuknya Islam pertama di Aceh. Semuanya
masih terstruktur seperti biasanya, namun walaupun demikian, ada beberapa adat
yang mendapat perkembangan atau berevolusi menjadi adat yang modern dalam
beberapa prosesi upacara perkawinan yang telah dijelaskan di atas. Akan tetapi,
tujuannya tetap sama dan tidak mengurangi nilai-nilai dari keIslaman itu
sendiri.
Sengaja tidak mengungkapkan perihal peusijuk dalam masalah ini, karena
peusijuek ini merupakan adat nenek moyang orang Aceh yang belum mengenal Islam
dan kemudian diIslamisasikan oleh ulama. Jadi, antara hukum Islam dengan
tradisi pesijuk ini agak susah untuk dikolerasikan. Kemudian
acara foto-foto yang lumrah terjadi dan sudah menjadi sebuah kebiasaan atau adat
juga tidak bisa diungkapkan ke dalam hukum Islam, karena dalam Islam jelas
sangat membatasi foto memfoto dalam segala hal kecuali untuk kepentingan-kepentingan
yang sifatnya urgen. Masalah ini tentu bukanlah masalah yang perlu untuk
didebatkan, hanya saja perlu untuk dipahami dengan makna yang tersirat
didalamnya. Adat perkawinan.
yang telah dijelaskan diatas adalah adat yang biasanya orang Aceh dan khususnya
masyarakat kota Lhokseumawe lakukan. Karena ada dari adat-adat perkawinan dalam adat Aceh yang terbuang atau diberlakukan lagi dikarenakan oleh perkembangan
zaman.
Post a Comment