Saya tidak tahu harus memulai
dari mana kisah seru tentang periode Perang Aceh. Semua tahu bahwa bangsa Aceh
selalu hidup dalam keadaan berperang (konflik), perang dalam arti yang
sesungguhnya. Siklus perang Aceh telah dimulai ketika rakyat Aceh menemukan
jati dirinya sebagai orang Aceh dengan negeri berjulukan Serambi Mekkah dan
ketika mereka mengenal perang maka perang itu secara berlahan menjadi prinsip
serta jati diri rakyat Aceh hingga sekarang. Semua bagian kisah perang Aceh selau menarik
perhatian dunia dan bahkan menjadi objek sejarah yang sangat memukau para ahli
sejarah. Apakah perang bagi masyarakat Aceh menjadi suatu budaya?
Aceh adalah bangsa yang memiliki
kejayaan dan peradaban yang sangat tinggi yang dibangun sejak berabad-abad
lampau. Inilah masa keemasan bangsa Aceh dibawah kerajaan-kerajaan Islam yang
berdaulat. Seperti kerajaan Samudera Pasai, kerajaan Islam pertama di Asia
Tenggara yang tersohor dengan cendekiawan-cendekiawan Muslim. Kerajaan ini kemudian
digantikan oleh Kerajaan Aceh Darussalam yang merupakan penerus dari kerajaan
Samudera Pasai. Kerajaan ini terkenal dengan pujangga-pujangga yang
kemampuannya diakui oleh dunia internasional, dan pelabuhan-pelabuhan dagang
yang strategis di selat Malaka yaitu jalur strategis perdagangan dunia. Daerah
kekuasaan kerajaan ini sampai ke Negeri Pahang, Malaysia.
Kejayaan ini mulai luntur ketika
orang-orang dari dunia lain (bangsa asing) datang dengan kapitalisme, keserakahan
dan tentu saja dengan dendam perang salib. Maka dari sinilah kisah perang Aceh
dimulai, kaum ini dari bangsa Portugis, Spanyol, Belanda dan Inggris mulai
mencatat kekerasan yang sangat tidak terperikan di Aceh. Perang Aceh yang
pertama (1873-1914) telah membuat Aceh tergenang darah syuhada dari 70.000
syuhada di bumi Serambi Mekkah termasuk para ulama.
Hal itu tidak pernah membuat
bangsa Aceh menjadi gentar, hanya berbekal kenangan masa lalu akan kejayaan dan
semangat perang sabil (jihad) yang menjadikan rakyat Aceh tetap kuat dan menjadi
obat pelipur lara dalam penderitaan serta roh perlawanan terhadap penindasan
selanjutnya.
Perang Aceh memang berakhir
dengan kekalahan di pihak Aceh dengan cara yang sangat licik. Kutaradja (Banda
Aceh), pusat pemerintahan kesultanan Aceh, berhasil diduduki Belanda. Sultan
Terakhir Aceh, Teungku M. Daudsyah, mengirimkan surat yang berisikan pernyataan
kesetiaan kepada pemerintah kolonial Belanda, Gubernur Jenderal Van Heutsz,
pada tanggal 14 Januari 1903. Sultan ditawan pada tahun 1904 dan dibuang ke pulau
Jawa. Padahal sebelumnya pemerintah kolonial Belanda berjanji untuk merawat
sultan dengan sebaik mungkin dan tidak dikucilkan dari rakyat Aceh. Kemudian,
Belanda melaksanakan pemerintahan sipil di Aceh dibawah pimpinan seorang
residen.
Walaupun demikian, semangat dan
roh rakyat Aceh tidak pernah sirna untuk melakukan perlawanan gigih dalam
mempertahankan tanah air. Pembunuhan secara gerilya terhadap pejabat-pejabat
Kolonial, adalah roh yang tiada henti merongrong kekuasaan lalim Belanda. Van
der Vier dalam bukunya Ajteh Orloog (perang Aceh) mengatakan bahwa,”orang Aceh
dapat dibunuh, tapi tak bisa ditaklukkan.” Sementara pendapat lain Kolonial Belanda terhadap rakyat Aceh ialah orang Aceh pungo (tidak waras), karena rakyat Aceh ketika di medan pertempuran tidak ada kata mundur walaupun harus melawan senjata api dan meriam.
Perkataan-perkataan inilah yang membuktikan
bahwa perang telah menjadi prinsip hidup dan jati diri rakyat Aceh. Maka, tidak
salah jika saya dan lainnya menyebutkan bahwa rakyat Aceh gila perang.
+ comments + 1 comments
salam kenal
Post a Comment