Jangan jadikan COPAS (Copy-Paste) sebagai budaya ! ! !
Pin It

Rakyat Aceh Gila Perang (Aceh Pungo)

1comments


Rakyat Aceh Gila Perang (Aceh Pungo)
Saya tidak tahu harus memulai dari mana kisah seru tentang periode Perang Aceh. Semua tahu bahwa bangsa Aceh selalu hidup dalam keadaan berperang (konflik), perang dalam arti yang sesungguhnya. Siklus perang Aceh telah dimulai ketika rakyat Aceh menemukan jati dirinya sebagai orang Aceh dengan negeri berjulukan Serambi Mekkah dan ketika mereka mengenal perang maka perang itu secara berlahan menjadi prinsip serta jati diri rakyat Aceh hingga sekarang. Semua  bagian kisah perang Aceh selau menarik perhatian dunia dan bahkan menjadi objek sejarah yang sangat memukau para ahli sejarah. Apakah perang bagi masyarakat Aceh menjadi suatu budaya?
Aceh adalah bangsa yang memiliki kejayaan dan peradaban yang sangat tinggi yang dibangun sejak berabad-abad lampau. Inilah masa keemasan bangsa Aceh dibawah kerajaan-kerajaan Islam yang berdaulat. Seperti kerajaan Samudera Pasai, kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara yang tersohor dengan cendekiawan-cendekiawan Muslim. Kerajaan ini kemudian digantikan oleh Kerajaan Aceh Darussalam yang merupakan penerus dari kerajaan Samudera Pasai. Kerajaan ini terkenal dengan pujangga-pujangga yang kemampuannya diakui oleh dunia internasional, dan pelabuhan-pelabuhan dagang yang strategis di selat Malaka yaitu jalur strategis perdagangan dunia. Daerah kekuasaan kerajaan ini sampai ke Negeri Pahang, Malaysia.
Kejayaan ini mulai luntur ketika orang-orang dari dunia lain (bangsa asing) datang dengan kapitalisme, keserakahan dan tentu saja dengan dendam perang salib. Maka dari sinilah kisah perang Aceh dimulai, kaum ini dari bangsa Portugis, Spanyol, Belanda dan Inggris mulai mencatat kekerasan yang sangat tidak terperikan di Aceh. Perang Aceh yang pertama (1873-1914) telah membuat Aceh tergenang darah syuhada dari 70.000 syuhada di bumi Serambi Mekkah termasuk para ulama.
Hal itu tidak pernah membuat bangsa Aceh menjadi gentar, hanya berbekal kenangan masa lalu akan kejayaan dan semangat perang sabil (jihad) yang menjadikan rakyat Aceh tetap kuat dan menjadi obat pelipur lara dalam penderitaan serta roh perlawanan terhadap penindasan selanjutnya.
Perang Aceh memang berakhir dengan kekalahan di pihak Aceh dengan cara yang sangat licik. Kutaradja (Banda Aceh), pusat pemerintahan kesultanan Aceh, berhasil diduduki Belanda. Sultan Terakhir Aceh, Teungku M. Daudsyah, mengirimkan surat yang berisikan pernyataan kesetiaan kepada pemerintah kolonial Belanda, Gubernur Jenderal Van Heutsz, pada tanggal 14 Januari 1903. Sultan ditawan pada tahun 1904 dan dibuang ke pulau Jawa. Padahal sebelumnya pemerintah kolonial Belanda berjanji untuk merawat sultan dengan sebaik mungkin dan tidak dikucilkan dari rakyat Aceh. Kemudian, Belanda melaksanakan pemerintahan sipil di Aceh dibawah pimpinan seorang residen.
Walaupun demikian, semangat dan roh rakyat Aceh tidak pernah sirna untuk melakukan perlawanan gigih dalam mempertahankan tanah air. Pembunuhan secara gerilya terhadap pejabat-pejabat Kolonial, adalah roh yang tiada henti merongrong kekuasaan lalim Belanda. Van der Vier dalam bukunya Ajteh Orloog (perang Aceh) mengatakan bahwa,”orang Aceh dapat dibunuh, tapi tak bisa ditaklukkan.” Sementara pendapat lain Kolonial Belanda terhadap rakyat Aceh ialah orang Aceh pungo (tidak waras), karena rakyat Aceh ketika di medan pertempuran tidak ada kata mundur walaupun harus melawan senjata api dan meriam.

Perkataan-perkataan inilah yang membuktikan bahwa perang telah menjadi prinsip hidup dan jati diri rakyat Aceh. Maka, tidak salah jika saya dan lainnya menyebutkan bahwa rakyat Aceh gila perang.


Share this article :

+ comments + 1 comments

May 14, 2015 at 7:27 PM

salam kenal

Post a Comment

 
Copyright © 2013. Nanggroe Aceh - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modify by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger
DMCA.com